Entah benar entah tidak bahwa manusia tercipta dari sari pati tanah.
namun sahya percahaya pada hal demikian tersebut. Sahya yakini karena apa yang manusia makan, semisal sayuran, itu tumbuh di atas tanah dan menyerap sari pati tanah tersehebut, hewan yang manusia makan jikalau ia pemakan tunbuhan lalu kita makan, secara tak langsung sari pati tanah yang berasal dari tumbuhan tersebut kita konsumsi. Demikianlah pula hewan pemangsa yang jika kita konsumsi, hewan tersebut tetap memakan hewan pemakan tumbuhan yang menghisap sari pati tanah.
Kemudian, dari sari pati tanah yang berasal dari apa yang manusia makan itulah kiranya semburan tuk mengawali kehidupan seseorang berasal.
Munculah di pikiran sahya, bahwa manusia itu memiliki sifat seperti tanah, ya demikianlah sahya buktikan kebenarannya.
Pergaulan sahya dengan sekian banyak orang yang sahya tak ingat berapa jumlahnya, sahya anggap seperti bertani atau berladang, ya karena dalam benak sahya, sahya anggap orang -orang tersebut tanah ladang, tanpa ada maksud sahya hinakan orang-orang yang pernah atau bergaul dengan sahya.
Jikalaulah sahya menanamkan suatu kebaikan pada orang yang sedang bergaul dengan sahya, berarti sahya pun juga akan memanen kebaikan darinya, pun sebaliknya, jika sahya menanam kejelekan pada kawan mestilah sahya akan panen kejelekan sahya kembali dari kawan. Sahya senyum pada kawan, maka kawan pun akan senyum pada sahya, jika sahya ejek kawan, maka kawan pun seadilnya mesti ejek sahya, maksimalnya pancung sahya mungkin atau jika kawan tak membalas perlakuan saya pada kawan, yakinlah sahya bahwa di awal hidup abadi kawan akan datangi sahya tuk minta agar sahya mempertanggung jawabkan apa yang telah sahya perlakukan padanya.
Saya simpulkan bahwa pergaulan seorang pada seorang ibarat cermin, perbuatan si-A pada si-B adalah cerminan dari perbuatan si-B pada si-A.
Namun adakalanya bukan, kita menanam singkong di tanah becek, atau kita bercermin pada cermin yang pecah?
Semua pasti harus sesuai dengan proporsi yang ada...
namun sahya percahaya pada hal demikian tersebut. Sahya yakini karena apa yang manusia makan, semisal sayuran, itu tumbuh di atas tanah dan menyerap sari pati tanah tersehebut, hewan yang manusia makan jikalau ia pemakan tunbuhan lalu kita makan, secara tak langsung sari pati tanah yang berasal dari tumbuhan tersebut kita konsumsi. Demikianlah pula hewan pemangsa yang jika kita konsumsi, hewan tersebut tetap memakan hewan pemakan tumbuhan yang menghisap sari pati tanah.
Kemudian, dari sari pati tanah yang berasal dari apa yang manusia makan itulah kiranya semburan tuk mengawali kehidupan seseorang berasal.
Munculah di pikiran sahya, bahwa manusia itu memiliki sifat seperti tanah, ya demikianlah sahya buktikan kebenarannya.
Pergaulan sahya dengan sekian banyak orang yang sahya tak ingat berapa jumlahnya, sahya anggap seperti bertani atau berladang, ya karena dalam benak sahya, sahya anggap orang -orang tersebut tanah ladang, tanpa ada maksud sahya hinakan orang-orang yang pernah atau bergaul dengan sahya.
Jikalaulah sahya menanamkan suatu kebaikan pada orang yang sedang bergaul dengan sahya, berarti sahya pun juga akan memanen kebaikan darinya, pun sebaliknya, jika sahya menanam kejelekan pada kawan mestilah sahya akan panen kejelekan sahya kembali dari kawan. Sahya senyum pada kawan, maka kawan pun akan senyum pada sahya, jika sahya ejek kawan, maka kawan pun seadilnya mesti ejek sahya, maksimalnya pancung sahya mungkin atau jika kawan tak membalas perlakuan saya pada kawan, yakinlah sahya bahwa di awal hidup abadi kawan akan datangi sahya tuk minta agar sahya mempertanggung jawabkan apa yang telah sahya perlakukan padanya.
Saya simpulkan bahwa pergaulan seorang pada seorang ibarat cermin, perbuatan si-A pada si-B adalah cerminan dari perbuatan si-B pada si-A.
Namun adakalanya bukan, kita menanam singkong di tanah becek, atau kita bercermin pada cermin yang pecah?
Semua pasti harus sesuai dengan proporsi yang ada...
Impressive writing and content presentation, useful too, hope so you keep sharing. You can also check our work at Acetune
BalasHapus